Ilmu Sosial Dekontruksi Indonesia

Ilmu-Sosial-Dekontruksi-Indonesia-1

Ilmu Sosial Dekontruksi Indonesia – Perkembangan ilmu sosial Indonesia termasuk yang lambat bila dibandingkan perkembangan ilmu ini di negara-negara berkembang lainnya.

Pengaruh Barat atau Eropa sangatlah dominan dalam politik akademik dan tradisi riset ilmu-ilmu sosial Indonesia. Tingkat ketergantungan pada teori-teori sosial Eropa sangat tinggi, akibatnya proyek merumuskan diskursus alternatif ilmu sosial Indonesia mengalami “kemacetan”.

Proses merumuskan ilmu sosial alternatif terkendala banyak hal, setidaknya soal ketekunan dan kemandirian intelektual menjadi penyebab utamanya. Ilmu sosial alternatif secara sederhana dapat dimaknai sebagai ilmu yang membebaskan, ilmu sosial yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia atau ilmu sosial yang tidak terkolonialisasi.

Usaha menghadirkan ilmu sosial alternatif bagi penjelasaan masyarakat Indonesia yang religius (sekitar 88 persen Muslim, 12 persen sisanya Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kongucu) telah menjadi kegelisahan para intelektual Indonesia sejak pra kemerdekaan, ditandai perdebatan cerdas para intelektual kala itu, misalnya perdebatan antara Natsir dan Soekarno mengenai konstruksi masyarakat Indonesia, gagasan Tjokroaminoto dan Agus Salim mengenai sosialisme Islam, ataupun misi kemanusiaan yang diusung Muhammadiyah, Persis dan NU.

Dalam sejarah Indonesia modern, para ilmuwan sosial tetap menyuarakan mengenai pentingnya pribuminisasi ilmu sosial dengan mengusung misi utamanya yakni membangun tradisi akademik sendiri yang berbeda dengan tradisi ilmu-ilmu sosial di kawasan lain, khususnya Barat. Pada dimensi yang lain, para ilmuwan sosial Indonesia melupakan beberapa tokohnya dalam tradisi Islam seperti Ibn Khaldun, Ismail Raji Al-Faruqi, Ali Syariati, ataupun Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik.

Macet Terbelenggu

Perkembangan teori-teori sosial Barat dalam beberapa dekade terakhir berlangsung begitu massif, bahkan buku-buku sosial yang ditulis oleh sarjana Barat diterjemahkan dan diterbitkan oleh berbagai penerbit terkemuka di Indonesia, buku-buku tersebut telah menjadi bacaan utama para mahasiswa Indonesia.

Perkembangan tersebut menurut Farid Alatas sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi informasi serta dorongan kuat untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial di Barat, akibat perkembangan itu dipandang sebagai fenomena Barat. Dimana ilmu sosial yang berkembang dan dipelajari di lembaga pendidikan (kampus) di Indonesia, termasuk juga negara-negara Dunia Ketiga merupakan ilmu sosial yang dihasilkan oleh sarjana Barat dari hasil pembacaan terhadap masyarakat mereka.

Kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat tersebut lebih disebabkan masalah internal intelektual-akademisi Indonesia sendiri, mereka telah terpuaskan dengan meniru apa yang berkembang di Barat, bahkan intelektual Indonesia bekerja keras untuk menerapkan teknik yang dipelajari dari buku-buku yang ditulis oleh sarjana Amerika dan Eropa dalam menjelaskan dan persoalan empiris atas masalah yang kebanyakan dirumuskan oleh ilmuwan Barat.

Keterpesonaan intelektual-akademisi kita terhadap ilmu sosial Barat berimplikasi pada pemilihan isu dan masalah yang menjadi topik kajian. Keadaan itu terus berlangsung, bahkan setelah lebih dari satu abad ilmu-ilmu sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada teori-teori sosial yang kuat dan unggul yang dihasilkan oleh intelektual kita dalam rangka menjelaskan realitas sosial masyarakat secara memadai, kecuali yang dirumuskan oleh para Indonesianis yang meminati studi tentang masyarakat Indonesia.

Keadaan ini akibat rendahnya penghargaan sesama intelektual Indonesia dalam menghargai ide dan gagasan diantara mereka sendiri, atau tradisi kutip-mengutip karya yang dihasilkan oleh intelektual kita sendiri, sehingga ilmu sosial Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan, bahkan mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan hebat meniru-niru dan mengulang-ulang apa yang mereka pelajari di Barat, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-teori sosial yang khas Indonesia.    

Tingginya penghargaan terhadap Barat tidak terlepas dari perasaan inferior dan juga akibat kondisi ekonomi bangsa yang masih bergantung pada Barat. Sebagian besar mereka yang menempuh pendidikan di Barat pada umumnya dibiayai oleh negara-negara Barat, akibatnya tingkat independensi menjadi lemah dan bahkan hilang.

Sejumlah riset (penelitian) yang dilakukan oleh para akademisi dan intelektual kita dibiayai oleh negara-negara Barat, dana untuk riset yang disediakan negara-negara maju jauh lebih memadai dari dana yang disediakan negara sendiri, prestise yang dilekatkan pada publikasi di jurnal Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda misalnya, juga kualitas universitas Barat dan ketekunan para intelektual Barat melahirkan karya-karya yang bermutu menjadi semakin kita tingkat ketergantungan kita pada ilmu sosial Barat.

Ilmu-ilmu sosial Indonesia mengikuti pola pengembangan ilmu sosial Barat, bahkan menurut Alatas, antropologi Indonesia telah terhegemoni oleh diskursus kolonial, khususnya antropologi Amerika.

Sejumlah karya antropolog tentang masyarakat Indonesia justru dihasilkan sarjana Barat, untuk menyebut sarjana Barat yang paling produktif menulis tentang Indonesia dan apa yang mereka tulis menjadi sumber referensi sangat bermanfaat bagi orang-orang antropolog Indonesia diantaranya Clifford Geertz, Mitsuo Nakamura dan Robert W. Hefner.

Hanya saja, apa yang telah dirumuskan oleh para antropolog asing tersebut tidak secara serius dikembangkan antropolog Indonesia. Dimana bidang ini , kita memiliki sejumlah sarjana antropolog yang menonjol seperti karya-karya antropologi Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan.

Dengan begitu pula bidang-bidang yang lain, tingkat ketergantungan pada Barat masih tinggi, selain perasaan inferior, tingkat ketekunan serta problem ekonomi yang belum baik, negara sendiri belum maksimal menyediakan dana riset yang memadai. 

Tingkat ketergantungan intelektual bekas kolonial terhadap model Barat terus berlanjut, bahkan bangsa ini setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka, belum mampu merumuskan KUHP yang terbebas dari pengaruh kolonial, bahkan sejumlah sarjana hukum kita merupakan produk dari negara yang pernah menjajahnya.